BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu
indikator yang digunakan
untuk menentukan derajat
kesehatan masyarakat adalah angka
kematian bayi. Kematian bayi
berkaitan erat dengan tingkat
pendidikan keluarga, keadaan sosial
ekonomi keluarga, sistem nilai, adat-istiadat, kebersihan dan
kesehatan lingkungan serta
pelayanan kesehatan yang
tersedia. Selain
faktor-faktor diatas kematian
bayi juga dipengaruhi
oleh masalah persalinan,
pemberian imunisasi dan
kejadian gizi buruk. Kejadian gizi
buruk pada bayi
antara lain disebabkan
oleh pemberian Air Susu Ibu (ASI)
yang salah dan
pemberian makanan tambahan
yang tidak tepat. Oleh
karena itu pola
pemberian ASI yang
benar dan pemberian
makanan tambahan yang tepat
perlu diperhatikan (Purnamawati,
2003).
ASI merupakan
makanan paling ideal
baik secara fisiologis
maupun secara biologis untuk
diberikan kepada bayi
diawal kehidupannya. ASI sanggup memenuhi kebutuhan
gizi seorang bayi
untuk masa hidup
4-6 bulan pertama. Anak yang
minum ASI akan
menghisap ASI dalam
jumlah serta komposisi
yang sesuai dengan
laju pertumbuhannya. Bayi
sebaiknya sesegera mungkin diberi ASI
atau disusukan setelah
lahir, kemudaian dilanjutkan dengan pemberian ASI
eksklusif sampai bayi
berusia 6 bulan, selanjutnya pemberian ASI
diberikan sampai usia 2
tahun dengan pemberian
makanan tambahan (MP-ASI)
dengan benar (Swasono, 1999).
Mengingat sedemikian
besar manfaat ASI
bagi bayi pada
bulan-bulan pertama dan
dampak yang ditimbulkan apabila
bayi diberi makanan tambahan terlalu
dini, maka WHO dan
Depkes RI telah
mencanangkan anjuran bagi para
ibu untuk memberikan
ASI secara eksklusif
kepada bayinya. Pada repelita
VI diharapkan pencapaian
pemberian ASI secara
eksklusif sebesar 80% pada
tahun 2000. Namun pada
kenyataannya, pelaksanaan anjuran tersebut
masih jauh dari harapan. Dari
berbagai studi diinformasikan bahwa
masih banyak ibu yang
memberikan ASI kepada
bayinya secara tidak
benar. Lebih dari 50%
bayi di Indonesia sudah
mendapatkan makanan pendamping
ASI (MP-ASI) pada umur kurang dari 1
bulan. Bahkan pada umur
2-3 bulan, bayi ada yang
sudah mendapat makanan padat (Soenardi, 1999).
Berbagai macam
faktor dapat mempercepat
pemberian makanan tambahan,
diantaranya adalah tingkat
pendidikan, pengetahuan, sosial budaya (tradisi), ekonomi dan sikap ibu
(Satoto, 1992).
Penelitian sudah
membuktikan, ASI membuat bayi
jauh lebih sehat, kekebalan meningkat, kecerdasan emosional
dan spiritual lebih
baik, IQ pun bisa lebih
tinggi dibandingkan dengan
anak-anak ketika bayi
tidak diberi ASI eksklusif
dan ASI juga
mempunyai dampak ekonomi
yang sangat tinggi
serta ASI tidak bisa
diganti dengan zat
makanan apapun. Para ahli
sepakat bahwa pemberian ASI
secara eksklusif dapat
memenuhi kebutuhan gizi
bayi sampai dengan usia
4-6 bulan (Swasono, 2005).
Tetapi kenyataannya
meskipun ASI eksklusif
memiliki banyak keunggulan,
jumlah ibu yang
memberikan ASI eksklusif
masih minim. Masih banyak ditemui
bahwa bayi sebelum
usia 3 bulan telah
diberikan makanan semi padat. Tampaknya sudah
menjadi kebiasaan sebagian
ibu di Indonesia
untuk memulai pemberian makanan
tambahan sejak bayi
berusia 1 bulan dengan memberi makanan
utama dari golongan
serealia ditambah dengan
beberapa jenis sayur-sayuran dan
buah-buahan, telur dan daging.
Berdasarkan data
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003-2004 didapatkan
proporsi bayi yang mendapat
ASI eksklusif pada
kelompok bayi kurang
dari 2 bulan 64%, 2-3 bulan 46%, 4-5 bulan 14%. Sedangkan bayi
yang mendapat makanan pendamping ASI
dini pada kelompok
usia 2-3 bulan 32%
dan kelompok usia 4-6 bulan 69% (BPS, 2003). Selain itu
dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Purnamawati (2003) diperoleh
hasil proporsi pemberian
MP-ASI pada bayi kelompok
usia 0 bulan sebesar
26.9%, 1 bulan 44.5%, 2
bulan 57%, 3 bulan 64% dan
kelompok usia 4 bulan
sebesar 83.3%.
Kebiasaan memberikan makanan
tambahan pada bulan
pertama setelah bayi
dilahirkan banyak dilakukan oleh
ibu terutama di
lingkungan pedesaan. Hal ini
didukung penelitian yang dilakukan
oleh Wiryo (1999) diperoleh
dari 64% ibu
di Nusa Tenggara Barat
yang baru saja
melahirkan dan 76%
ibu di Jawa
Timur memberikan pada bayinya
pisang yang telah
dikunyah ketika belum
keluar kolostrum.
Berdasarkan survei pendahuluan
yang dilakukan oleh peneliti di wilayah kerja Puskesmas Tambak Aji yang terdiri
dari dua wilayah, yaitu wilayah Tambak Aji dan wilayah Wonosari. Pada awal tahun
2007 jumlah bayi sebanyak 65 bayi dengan latar belakang tingkat pendidikan,
pengetahuan, sosial budaya dan ekonomi yang heterogen. Dari jumlah tersebut
semua bayi mendapatkan MP-ASI.
Berdasarkan latar
belakang diatas maka
penulis tertarik mengambil judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan usia bayi saat
pertama kali mendapatkan MP-ASI di wilayah
kerja Puskesmas Tambak
Aji Semarang”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan,
yaitu :
Faktor-faktor yang berhubungan
dengan usia bayi saat pertama kali mendapatkan MP-ASI
Selengkapnya
0 komentar:
Posting Komentar