BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sering kali
dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai
periode
transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, masa usia
belasan tahun, atau
seseorang yang menunjukan tingkah laku tertentu seperti
susah diatur, mudah
terangsang
perasaannya, dan sebagainya.
Masalahnya sekarang, kita
tidak
pernah berhenti
dengan hanya menyatakan bahwa mendefinisikan remaja itu
sulit. Sulit atau mudah, masalah-masalah yang menyangkut
kelompok remaja
kian hari kian
bertambah. Berbagai tulisan, ceramah,
maupun seminar yang
mengupas
berbagai segi kehidupan
remaja, termasuk kenakalan
remaja,
perilaku
seksual remaja, dan
hubungan remaja dengan
orang tuanya,
menunjukkan
betapa seriusnya masalah
ini dirasakan oleh
masyarakat
(Sarwono, 2007).
Sarwono (2007)
menyatakan bahwa
perubahan-perubahan fisik yang terjadi
pada
perkembangan jiwa remaja
yang terbesar pengaruhnya
adalah
pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan
tinggi). Selanjutnya,
mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan
haid pada wanita dan
mimpi basah pada
laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder
yang tumbuh
sehingga menyebabkan
mudahnya aktivitas seksual
(terutama dikalangan
remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks (Sarwono 2007
dan Pasti, 2008).
1
Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia
menunjukkan sekitar 20%
sampai 30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks
(DUTA, Edisi
No. 230/ Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran
kehamilan pranikah
semakin
sering terjadi. Disinyalir
jumlah angka (persentase) yang
sesungguhnya jauh lebih besar daripada data yang tercatat
(Pasti, 2008).
Berdasarkan sumber
dari Hanifah (2000), bahwa beberapa hasil penelitian di
Indonesia menunjukan adanya penurunan batas usia
hubungan seks pertama
kali.
Menurut Iskandar (1998)
sebanyak 18% responden
di Jakarta
berhubungan seks pertama di bawah usia 18 tahun dan usia
termuda 13 tahun.
Sedangkan menurut Utomo (1998), menyatakan bahwa remaja
Manado yang
sudah aktif
secara seksual, melakukan
hubungan seks pertama pada usia di
bawah 16 tahun sebanyak 56,8% pada remaja
pria dan 33,3% pada
remaja
putri (Sarwono, 2007).
Dr. Boyke Dian Nugraha, pakar seks dan spesialis Obstetri dan Ginekologi,
menyatakan
bahwa penyebabnya antara
lain maraknya pengedaran
gambar
dan VCD porno,
kurangnya pemahaman akan nilai- nilai agama, keliru dalam
memaknai
cinta, minimnya pengetahuan
remaja tentang seksualitas
serta
belum adanya pendidikan
seks secara reguler
hingga formal di
sekolah-
sekolah. Itulah
sebabnya informasi tentang makna hakiki
cinta dan adanya
kurikulum kesehatan reproduksi di sekolah mutlak di
perlukan (Pasti, 2008).
Harus diakui, sampai saat ini di kalangan masyarakat
tertentu, bebicara soal
seks masih dianggap masalah yang tabu. Seks belum
menjadi wacana publik.
Pro kontra masih
saja ada. Oleh
karena itu, jarang
sekali di jumpai
pembicaraan perihal seks secara terbuka. Namun disisi
lain (fakta yang tidak
terbantahkan),
masalah seks juga
berjalan terus. Untuk
itu, sosialisasi
pemahaman
tentang makna hakiki
cinta dan perlunya kurikulum kesehatan
reproduksi di
sekolah sangat perlu sebagai
salah satu alternatif yang dapat
ditempuh untuk memfilter
perilaku destruktif seksual remaja (Pasti, 2008).
Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja
sangat penting dalam
pembentukan
hubungan baru yang lebih
matang dengan lawan jenis.
Pada
masa
remaja, informasi tentang
masalah seksual sudah
seharusnya mulai
diberikan supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang
salah dari sumber-
sumber yang tidak
jelas. Pemberian informasi
masalah seksual menjadi
penting terlebih
lagi mengingat remaja
berada dalam potensi
seksual yang
aktif,
karena berkaitan dengan
dorongan seksual yang
dipengaruhi hormon
dan tidak cukupnya
informasi mengenai aktifitas
seksual mereka sendiri.
Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi
perkembangan jiwa remaja
bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang
tepat (Glevinno,
2008).
Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang. Faktor ini
ditambah
dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang
salah, seperti mitos
seputar seks, VCD
porno, situr porno di internet, dan
lainnya akan membuat
pemahaman dan persepsi anak tentang seks menjadi salah. Pendidikan seks
sebenarnya
berarti pendidikan seksualitas
yaitu suatu pendidikan
seksual
dalam arti luas
yang meliputi berbagai
aspek yang berkaitan dengan seks,
diantaranya
aspek biologis, orientasi,
nilai sosiokultur dan
moral serta
perilaku.
Terlepas
dari pro dan
kontra pemblokiran situs porno
yang sempat marak
diberitakan di berbagai media. Di era globalisasi
sekarang ini pengenalan seks
sejak dini dirasa
cukup penting, mengingat
anak-anak dengan mudah
mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah,
buku, TV, VCD dan
Internet.
Sebagai orang tua,
tentunya tidak menginginkan anak-anaknya
mencari pengetahuan tentang seks dengan caranya
sendiri seperti mengakses
situs-situs porno atau menonton VCD porno dan lain-lain.
Selengkapnya
0 komentar:
Posting Komentar